Selasa, 30 Desember 2008

Patient Safety - Paradigma Baru Layanan Medis

Pengantar Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety)
Paradigma Baru Layanan Medis

Pendahuluan
Utamakan keselamatan “safety first” dewasa ini telah menjadi issue global termasuk juga untuk pelayanan dirumah sakit. Saat ini terdapat lima issue penting yang berkaitan dengan pelayanan medis di rumah sakit. Kelima issue itu adalah keselamatan pasien “patient safety”, keselamatan para pekerja atau petugas kesehatan baik medis maupun paramedis dan karyawan lain, keselamatan bangunan dan semua peralatan rumah sakit, keselamatan lingkungan dan keselamatan “bisnis” rumah sakit yang bagi rumah sakit swasta tentunya sangat terkait dengan kelangsungan hidup rumah sakit dan kesejahteraan seluruh karyawannya. Kelima aspek keselamatan tersebut sangatlah penting untuk dilaksanakan di setiap rumah sakit. Namun harus diakui fokus utama kegiatan di institusi rumah sakit adalah pelayanan medis. Oleh karena itu dapat dipahami mengapa patient safety menjadi prioritas utama untuk dilaksanakan, hal tersebut terkait dengan mutu layanan dan citra rumah sakit.
Institute Of Medicine di USA pada tahun 2000 menerbitkan laporan yang mencengangkan masyarakat global: “TO ERR IS HUMAN”, Building a Safer Health System. Laporan tersebut mempublikasikan hasil riset di rumah sakit pada negara bagian Utah, Colorado dan New York. Di Utah dan Colorado ditemukan insidens adverse event sebesar 2,9%, dimana 6,6% diantaranya meninggal. Sedangkan di New York, adverse event didapatkan sebesar 3,7% dengan angka kematian 13,6%. Kumulatif angka kematian akibat adverse event pada pasien rawat inap di seluruh USA, berkisar antara 44.000 - 98.000 pertahun dari 33,6 juta jiwa pasien rawat inap. Pada tahun 2004, WHO mempublikasikan hasil riset pada rumah sakit di USA, Inggris, Denmark dan Australia, ditemukan adverse event dengan rentang antara 3,2% - 16,6%. Berbagai kekerapan diatas cukup mencengangkan bagi pemerhati masalah kesehatan, tetapi mungkin belum menyentuh bagi sebagian lain. Akan tetapi dengan data tersebut beberapa negara sudah merasa perlu untuk segera mengembangkan dan menerapkan Sistem Keselamatan Pasien Rumah Sakit (SKPRS).
Di Indonesia data mengenai adverse event & near miss apalagi sentinel event masih sangat langka, tetapi yang pasti tuduhan malpraktik terhadap dokter dan atau rumah sakit makin lama makin sering dijumpai. Berkaitan dengan hal diatas Persatuan Rumah Sakit Seluruh Indonesia (PERSI) merasa perlu untuk membentuk Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS) yang diresmikan pada 1 Juni 2005 di Jakarta. Gebrakan PERSI disambut baik oleh Depkes, maka gayung pun bersambut dengan diresmikannya pencanangan Gerakan Keselamatan Pasien Rumah Sakit oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia pada 21 Agustus 2005 di Jakarta.
Peningkatan jumlah penduduk di Indonesia dalam beberapa dekade terakhir tumbuh demikian pesatnya, peningkatan diatas juga disertai dengan peningkatan rerata tingkat ilmu pengetahuan dan sosial ekonomi masyarakat. Perubahan faktor-faktor tersebut secara tidak langsung akan meningkatkan needs & demands masayarakat dalam mencari layanan medis yang bermutu, aman dan terjangkau. Dalam menyikapi perubahan-perubahan diatas diperlukan kesiapan yang baik dari seluruh tenaga medis, paramedis serta semua unit pendukung di rumah sakit, bentuk respons yang tidak siap, tidak sigap dan tidak adekwat dapat berpotensi menimbulkan berbagai macam permasalahan. Berbagai masalah yang timbul biasanya terjadi akibat kelalaian dalam upaya penanganan yang akhirnya akan berujung pada munculnya adverse event.
Konsep dari pelayanan medis pada dasarnya adalah segala upaya yang dilakukan untuk menyembuhkan dan atau menyelamatkan atau mengurangi penderitaan pasien dari penyakit atau kelainan yang dideritanya. Dalam melakukan upaya tersebut diatas, terdapat kaidah dasar yang harus selalu diingat ”Primum, Non Nocere” atau “First, do no harm” (Hiprocrates).
Peningkatan mutu pelayananan medis (medical services) dirumah sakit merupakan faktor penting dalam pengembangan layanan rumah sakit (hospital services), layanan medis adalah indikator penting kinerja layanan rumah sakit. Mutu layanan medis merupakan bagian yang tak terpisahkan dengan keselamatan pasien, secara matematis mutu medical services berbanding terbalik dengan insidens medical error, oleh karena itu peningkatan mutu medical services akan dapat menurunkan insidens medical error di rumah sakit.
Menurut Institute of Medicine (1999), Medical error didefinisikan sebagai ”The failure of a planned action to be completed as intended or the use of a wrong plan to achieve an aim
Menurut derinisi lain,
Medical error is an inaccurate or incomplete diagnosis and or treatment of a disease; injury; syndrome; behavior; infection or other ailment.
Sedangkan menurut Bhasale et al (1998) mendefinisikan medical error sebagai “ an unintended event . . . that could have harmed or did harm a patient.”
Pemahaman definisi diatas menggambarkan bahwa medical error adalah : Suatu kekeliruan / kesalahan yang terjadi saat melakukan suatu prosedur medis (upaya menegakkan diagnosis atau terapi terhadap suatu penyakit, infeksi, cidera, syndrome atau kelainan medis lain) yang dilakukan secara tidak tepat atau tidak lengkap atau tidak sesuai dengan rencana (SOP), atau menggunakan metoda yang salah (sudah tidak dipakai lagi/ditinggalkan), dan dapat membahayakan bagi pasien. Dengan definisi seperti diatas sudah dapat diperkirakan akan banyak sekali medical error yang dilakukan oleh dokter dalam melakukan tugasnya sehari-hari. Analisa lebih lanjut ternyata banyak medical error itu muncul karena tekanan ataupun situasi yang ada diluar kewenangan tenaga medis fungsional, situasi atau keadaan tersebut terus menerus terjadi tanpa ada pembenahan atau upaya perbaikan dan sering tidak disadari (latency error). Contoh dari latency error adalah suprastructure error, structure error, management error, technical error, dan masih banyak lagi ”error” yang berperan sebagai “confounding factor” yang ikut memicu munculnya medical error. Sedangkan active error adalalah medical error yang benar-benar dilakukan oleh dokter karena pekerjaannya dan posisinya berada pada titik paling depan dari task force layanan medis.

Berapa besar kekerapan & magnifikasi medical error ?
Di USA, negara dengan teknologi kedokteran dan sistem rekam medik yang jauh lebih maju dari Indonesia mencatat, 1 diantara 200 pasien yang berobat ke RS berisiko mendapatkan medical error, bandingkan dengan risiko akibat human error dalam bidang penerbangan yang hanya sebesar 1 banding 2.000.000. Publikasi dari the Institute of Medicine seperti yang sudah dikemukakan sebelumnya menyebutkan bahwa, di USA setiap tahunnya sekitar 48.000 hingga 98.000 pasien meninggal dunia akibat medical error serta menyebabkan cidera lebih dari 1 juta pasien pertahun. Angka tersebut sangat mencengangkan bila dibandingkan dengan angka kematian akibat AIDS (16.500/tahun) atau angka kematian akibat maraknya penggunaan senjata api di USA (32.000/ tahun).
Masih di USA, sekitar seperempat pasien ICU yang tergolong sakit gawat dan terpaksa menggunakan ventilator seringkali mengalami ventilator associated pneumonia (VAP), Dalam pengamatan lanjut ternyata kekerapan VAP diatas memberikan kontribusi sebesar 60% untuk kematian akibat hospital acquired infection. Disamping itu akibat VAP ini pasien terpaksa harus dirawat rata-rata lebih lama 6 hari dengan biaya terapi yang meningkat hingga US$ 40.000 per pasien (Weber et al, 2002).

Tabel 1. Jenis-jenis Kesalahan
Dimana Kesalahan dibuat ? ( Type of Errors )
Diagnostik
Kesalahan/Keterlambatan diagnosis
Tidak menerapkan tes yang diindikasi
Menggunakan tes atau terapi yang sudah tidak dipakai
Tidak bertindak atas hasil tes atau monitoring
Treatment
Kesalahan pada operasi, prosedur atau test
Kesalahan pada pelaksanaan operasi
Kesalahan metoda penggunaan suatu obat
Keterlambatan pengobatan /terlambat respons terhadap hasil test yang abnormal
Asuhan yang tidak layak
Preventif
Tidak memberikan terapi profilaktik
Monitoring tidak adekwat

Others
Gagal melakukan komunikasi
Kegagalan alat
Kegagalan system lain
Penelitian lain mengenai adverse event, dilakukan oleh The Harvard Medical Practice melibatkan lebih dari 30.000 pasien yang dipilih secara random dari 51 rumah sakit di New York pada tahun 1984 (Brennan et al, 1991), menyimpulkan terjadi adverse events pada 3,7% pasien rawat inap yang akhirnya memerlukan perpanjangan lama hari rawat, atau menimbulkan kecacatan pasien pasca perawatan. Analisis lebih lanjut dari riset diatas menunjukkan bahwa lebih dari 58% adverse event tersebut sebetulnya dapat dicegah (preventable adverse events) dan 27,6% terjadi akibat kelalaian rumah sakit atau klinik (hospital / clinical negligence). Pada follow up yang berikutnya menunjukkan bahwa, sebagian kecacatan akibat adverse event tersebut pulih dalam waktu tidak lebih dari 6 bulan, namun 13,6% di antaranya akhirnya meninggal dan 2,6% mengalami kecacatan permanen.
Dari berbagai laporan yang dicatat dalam survey diatas ternyata komplikasi akibat obat relatif paling sering dilaporkan (19%), disusul oleh surgical site infection (14%) dan komplikasi akibat masalah teknis selama tindakan operasi (13%) (Brennan et al,1991). Hasil temuan tersebut juga dikuatkan oleh studi di Utah dan Colorado pada tahun 1992 yang melaporkan bahwa, adverse event terjadi pada 2,9% pasien rawat inap. Studi ini dapat menunjukkan angka kelalaian klinik yang lebih besar (29,2%) dengan adverse event yang dapat dicegah mendekati 53% (Thomas et al, 1999).

Kemana biasanya suatu medical error berakhir ?

Biasanya medical error sering berakhir dengan munculnya tuntutan dari pasien ataupun keluarganya, laporan dari National Health Services (NHS) di Inggris pada tahun 1998, jumlah dana yang terkait dengan tuntutan pasien berjumlah £ 380 juta / tahun. Akhir-akhir ini tuntutan hukum yang diajukan oleh pasien dan atau keluarganya kepada pihak rumah sakit dan atau tenaga medis (dokter) menunjukkan peningkatan kekerapan. Tuntutan hukum tersebut dapat berupa tuntutan pidana maupun perdata, dengan hampir selalu mendasarkan kepada teori hukum kelalaian yang mengakibatkan timbulnya cidera berat ataupun kematian. Dalam bahasa sehari-hari, perilaku yang dituntut adalah malpraktik tenaga medis (dokter). Definisi malpraktik menurut World Medical Assocciation (WMA,1992) adalah :
" Medical malpractice involves the physician's failure to conform to the standard of care for treatment of the patient's condition, or lack of skill, or negligence in providing care to the patient, which is the direct cause of an injury to the patient."
Definisi lain dari malpraktik adalah : Medical malpractice is professional negligence by act or omission by a health care provider in which care provided deviates from accepted standards of practice in the medical community and causes injury to the patient
Analisa hukum yang dapat disimpulkan dari definisi diatas bahwa malpraktik dapat terjadi karena suatu tindakan medis yang dilakukan (commission & intentional), ataupun tidak melakukan tindakan yang seharusnya dilakukan (omission & intentional), memiliki unsur kelalaian (negligence) dalam pelaksanaan, menyiratkan suatu kekurang-mahiran atau ketidak-kompetenan yang tidak beralasan, menggunakan metoda yang melenceng (baku prosedur operasional) dan mengakibatkan cidera pada pasien.

Tabel 2. Distribusi RS Berdasarkan
Kota & Cara Penyelesaian Klaim

Tabel. 3. Distribusi RS Berdasarkan Kota
& Jumlah Biaya Penyelesaian Klaim


Di Indonesia analisa pada jenis pidana yang paling sering dituntutkan kepada profesi dokter adalah pidana kelalaian yang mengakibatkan luka (pasal 360 KUHP), atau luka berat atau mati (pasal 359 KUHP), yang dikualifikasikan dengan pemberatan ancaman pidananya bila dilakukan dalam rangka melakukan pekerjaannya (pasal 361 KUHP).Sedangkan gugatan perdata dalam bentuk ganti rugi dapat diajukan dengan mendasarkan kepada salah satu dari 3 teori di bawah ini, yaitu : 1. Terdapat unsur kelalaian, 2. Adanya perbuatan melanggar hukum, dan 3. Wanprestasi hasil kerja (outcome).
Bentuk-bentuk kelalaian di atas biasanya sejalan dengan bentuk-bentuk error (mistakes, slips and lapses), namun pada kelalaian harus memenuhi unsur kelalaian dalam hukum - khususnya adanya kerugian, sedangkan error tidak selalu mengakibatkan kerugian. Suatu tuntutan perdata dalam hal ini sengketa antara pihak dokter dan atau rumah sakit berhadapan dengan pasien dan atau keluarga atau kuasanya, dapat diselesaikan melalui dua cara, yaitu cara litigasi dan cara non litigasi (Tabel 2).
Di Indonesia data tentang jumlah kumulatif dana yang dikeluarkan pada proses peradilan antara dokter dan atau rumah sakit, berhadapan dengan pasien dan atau keluarganya masih tersebar dan belum terdokumentasi dengan baik, serta belum ada yang melakukan pencatatan secara khusus. Kemungkinan lain adalah banyak masalah tersebut yang diselesaikan secara non litigasi, atau pasien dan keluarganya pasrah karena menganggap keadaan tersebut sudah menjadi nasib “suratan takdir” mereka. Akan tetapi secara jelas terjadi peningkatan tuduhan “malpraktek” di beberapa kota besar yang cukup signifikan (Tabel 2 & 3).


Mengapa masyarakat & dokter memerlukan penerapan Patient Safety dalam setiap layanan medis ?
Gambaran awam mengenai “Rumah Sakit” adalah suatu institusi dimana terdapat ribuan macam obat, ratusan jenis test diagnostik dan prosedur medis, berbagai alat dengan teknologi yang tak diketahui masih laik atau tidak, bermacam jenis tenaga profesi dan non profesi. Keberagaman dan rutinitas pelayanan dalam bentuk berbagai tindakan medis yang dilakukan, apabila tidak dikelola dengan baik dapat menimbulkan adverse event.
Perlu disadari bahwa layanan medis adalah suatu sistem yang kompleks dimana terjadi hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem tersebut ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi sehingga satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain dapat dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem, akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu layanan medis terutama di unit-unit diatas harus dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi (Tabel 4).

Tabel 4. Root Causes Medical Errors
Most common Root Causes of Medical errors
1. Communication problems
2. Inadequate information flow
3. Human problem
4. Patient related issues
5. Organizational transfer of knowledge
6. Staffing patterns/work flow
7. Technical failures
8. Inadequate policies and procedures
(AHRQ Publication No. 04-RG005, December 2003.)

Dampak dari medical error sangat beragam, mulai dari yang ringan dan sifatnya reversible hingga yang berat berupa kecacatan menetap atau bahkan kematian. Sebagian penderita terpaksa harus dirawat di rumah sakit lebih lama (prolonged hospitalization) yang akhirnya berdampak pada peningkatan biaya perawatan yang jauh lebih besar. Classen melaporkan bahwa untuk mengatasi masalah medical error pada 2,4% pasien yang masuk ke rumah sakit selain diperlukan biaya ekstra sebesar US$ 2262 (hampir Rp 23 juta) per pasien juga diperlukan perpanjangan lama hari rawat rata-rata 2 hari.
Hasil yang hampir sama juga dilaporkan melalui The Harvard study of Adverse Drug Events. Dalam temuannya terbukti bahwa biaya yang harus dikeluarkan per pasien akibat adanya medical error adalah sekitar US $ 2595 (lebih dari Rp 25 juta) dengan perpanjangan masa rawat di rumah sakit rata-rata 2,2 hari. Namun demikian jika dilakukan analisis lebih rinci maka untuk kasus-kasus yang sifatnya bisa dicegah (preventable) biaya ekstra yang harus dikeluarkan hampir 2 kalinya, yaitu US $ 4685 (hampir Rp 50 juta) sedangkan perpanjangan masa rawat inap rata-rata 4.6 hari. Perkiraan lebih lanjut menunjukkan bahwa untuk rumah sakit pendidikan dengan 700 tempat tidur maka rata-rata biaya yang harus dikeluarkan per tahun untuk mengatasi medical error adalah sekitar US 5,6 juta (sekitar Rp 56 milyar rupiah)
Bila ditilik lebih dalam, maka kekarapan medical error akan memberikan gambaran berupa gunung es “iceberg fenomenon“, artinya hanya kasus-kasus yang serius dan mengancam jiwa (life threatening), dan menarik perhatian publik yang akan tampak di permukaan, sedangkan kasus-kasus yang sifatnya ringan sampai sedang umumnya tidak terdeteksi, tidak dicatat, ataupun tidak dilaporkan (apalagi yang gejalanya hilang dengan penghentian pemberian terapi yang dicurigai sebagai penyebab efek samping).
Kaidah keselamatan pasien atau patient safety sama bukan berarti harus tidak ada risiko sama sekali (zero risk) agar suatu tindakan medis dapat dilakukan. Safety disini berarti menjunjung tinggi prinsip bahwa risiko tersebut haruslah dalam kategori acceptable pada situasi dan kondisi saat itu (evidence based ), sebagai patokan Pada umumnya risiko yang dapat diterima adalah risiko yang sangat kecil, baik probabilitas terjadinya maupun derajat keparahannya, sehingga dapat diantisipasi dan dikendalikan. Suatu risiko dapat saja cukup besar tetapi harus tetap diambil oleh karena tindakan tersebut adalah satu-satunya cara penyembuhan atau penyelamatannya. Jenis risiko lain yang juga cukup besar tetapi masih acceptable, yaitu risiko yang tidak terduga dan tak dapat diprediksi sebelumnya (unforeseeable).
Seorang dokter yang melihat adanya risiko pada tindakan medis yang akan dilakukannya, ia wajib berupaya menghilangkannya (eliminasi) atau setidaknya menguranginya (reduksi). Tetapi apabila secara teknis medis hal tersebut tak dapat dilakukan dengan tepat dan sempurna maka wajib baginya menginformasikan risiko tersebut secara jelas kepada pasien dan atau keluarganya, dan memberi peluang bagi pasien untuk menentukan pilihannya (informed consent). Persetujuan pasien atas kemungkinan terjadinya risiko mengakibatkan terbebasnya dokter dari tanggungjawab apabila risiko tersebut benar terjadi sepanjang dokter tsb telah melakukan tindakan medisnya sesuai dengan standar dan telah melakukan upaya untuk mencegah timbulnya dan atau mengurangi kemungkinan timbulnya risiko, dengan kata lain dokter telah berupaya maksimal untuk mengantisipasi dan mengendalikan timbulnya risiko ”anticipate & controlling risk” - ( Management Risiko).
Berkaitan dengan gambaran diatas, dan juga kecenderungan yang muncul di masyarakat pada saat ini, maka pelaksanaan Program Keselamatan Pasien Rumah Sakit sudah harus diterapkan. Oleh karena itu sangat diperlukan acuan yang jelas dan kemauan yang kuat dari seluruh komponen yang ada di rumah sakit untuk melaksanakan tersebut secara utuh.

Apa yang dimaksud dengan keselamatan pasien rumah sakit ?
…Pelayanan Keselamatan Pasien bukan suatu pilihan. Itu adalah hak setiap pasien yang mempercayakan dirinya dilayani oleh Rumah Sakit……. (Sir Liam Donaldson,Chair of World Alliance for Patient Safety, Forward Programme, 2006-2007 )
Menurut Komite Keselamatan Pasien Rumah Sakit (KKP-RS), Keselamatan Pasien Rumah Sakit, adalah:
Suatu sistem dimana rumah sakit membuat asuhan pasien lebih aman, sistem tersebut meliputi: Assessment risiko, identifikasi dan pengelolaan hal2 yang berhubungan dengan risiko pasien, pelaporan dan analisis insiden, kemampuan belajar dari insiden dan tindak lanjut penanganan serta implementasi solusi untuk mereduksi timbulnya risiko. Sistem tersebut diharapkan dapat mencegah terjadinya cidera yang disebabkan oleh melaksanakan suatu tindakan (commision) atau tidak melaksanakan suatu tindakan yang seharusnya dilakukan (ommision)
Sejak awal tahun 1990 Institusi rumah sakit selalu meningkatkan mutu pada 3 (tiga) elemen yaitu struktur, proses dan outcome dengan bermacam-macam konsep dasar, program regulasi yang diterapkan terutama pada rumah sakit pemerintah, misalnya: Penerapan Standar Pelayanan Rumah Sakit, Quality Assurance, Total Quality Management, Countinus Quality Improvement, Perizinan, Akreditasi Rumah Sakit, Crendentialing, Audit Medis, Indikator Klinis, Clinical Governance, ISO, dan lain sebagainya. Meskipun program-program tersebut telah dapat meningkatkan mutu pelayanan rumah sakit baik pada aspek struktur, proses maupun outcome. Namun masih saja terjadi adverse event yang tidak jarang berakhir dengan tuntutan hukum. Oleh sebab itu perlu penerapan program lain yang lebih mengena langsung pada hubungan dokter-pasien untuk lebih memperbaiki proses pelayanan.

Tabel. 5. Peran Mutu & KPRS dalam mereduksi bobot litigasi
Bobot KPRS & Mutu ringan àAE meningkat à Litigasi meningkat / bobot litigasi berat

Program tersebut diatas kemudian lebih dikenal dengan istilah Keselamatan Pasien Rumah Sakit (Patient Safety) (KPRS). Diharapkan dengan meningkatnya keselamatan pasien rumah sakit, maka kepercayaan masyarakat terhadap layanan rumah sakit dapat lebih meningkat. Selain itu meningkatnya fokus perhatian pada keselamatan pasien akan dapat mengurangi kekerapan adverse event. Karena telah diketahui sebelumnya adverse event selain dapat berdampak terhadap peningkatan biaya pelayanan medis juga bisa membawa rumah sakit ke arena ataupun “budaya” saling menyalahkan blaming culture, menimbulkan konflik antara dokter/petugas kesehatan dan pasien, menimbulkan sengketa medis, menimbulkan tuntutan dan proses hukum atas tuduhan malpraktek dsb.
KPRS dan mutu pelayanan mempunyai efek sinergik dalam upaya mengurangi munculnya proses litigasi di Rumah sakit, peningkatan mutu pelayanan saja tanpa disertai dengan penerapan KPRS akan sulit dan lambat dalam mengatasi masalah maraknya tuntutan malpraktik, serta sangat sulit dalam mengubah budaya saling menyalahkan blaming culture menjadi budaya keselamatan safety culture (Tabel. 5).
KPRS bertujuan untuk : 1. Terciptanya “Budaya” keselamatan pasien di rumah sakit, 2. Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap pasien dan masyarakat, 3. Menurunnya adverse event di rumah sakit, 4. Terlaksananya program-program pencegahan sehingga tidak terjadi pengulangan adverse event.
Proses pembelajaran untuk menguasai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi memang tidak cukup hanya dengan niat saja, tetapi juga harus disertai kemauan dan upaya nyata. Ilmu Kedokteran adalah ilmu empiris yang masih menyisakan banyak pertanyaan yang masih belum terjawab, upaya untuk mencari jawaban adalah tugas tenaga medis sebagai ilmuwan sekaligus insan yang memiliki ilmu dan keterampilan, dan diberi wewenang serta kewajiban oleh Pemerintah untuk membantu menyembuhkan pasien, melalui upaya yang terbaik sesuai dengan baku mutu Ilmu Kedokteran yang merujuk pada evidence based dan berpedoman pada UU, Peraturan yang berlaku, Etika profesi, Keselamatan Pasien dan masih banyak lagi koridor aturan yang harus diperhatikan termasuk juga hati nurani.







Sabtu, 27 Desember 2008

Jangan Keburu Senang Bila Anak Tenang

Jika boleh memilih, pasti tak banyak orang tua yang ingin punya anak rewel. Bocah berpembawaan anteng (tenang) konon lebih gampang diatur ketimbang yang ceriwis.
Namun, kalau kelewat tenang, waspadalah! Bisa jadi itu karena ada gangguan pendengaran yang membuatnya tidak ngeh terhadap dunia sekitar.
Ny. Sum (23 tahun) baru saja pulang dari Puskesmas. Dia cemas bukan main, karena Andi, anak kesayangannya yang baru berusia 15 bulan, ternyata harus dibawa ke dokter spesialis THT (Telinga, Hidung, Tenggorokan). Oleh dokter di Puskesmas, Andi diduga menderita gangguan pendengaran Ny. Sum mulanya tak percaya. Namun, ketika mengingat kembali gejala-gejala mencurigakan yang terjadi beberapa bulan terakhir, ia jadi mengerti.
Ia ingat, sejak bayi, Andi tergolong anak yang tenang, bahkan terlalu cool. Bila sedang tidur atau disusui, perhatiannya tidak pernah terusik pada kejadian di dekatnya. Bahkan, sendok atau piring jatuh disampingnya tidak lantas membuat Andi terkejut. Ketika berusia satu tahun, Ny. Sum makin yakin, ada sesuatu yang kurang beres pada anaknyan, sebab Anto, anak tetangganya yang seusia dengan Andi sudah dapat berkata-kata, paling tidak mengucapkan mama, papa, mimi. Tapi Andi belum dapat mengucapkan satu kata pun dengan jelas. memang pada saat kehamilan, ia sempat minum berbagai macam ramuan, jamu peluntur dan berbagai macam obat untuk melancarkan menstruasi. Dia dan suaminya masih belum ingin punya abak, sebelum kondisi keuangan keluarga mantap.
"Kini kecurigaan berbulan-bulan itu menjadi kenyataan,"bisik Ny. Sum lirih
Kurang akustik

Organ pendengaran merupakan salah satu modal vital. Manusia sebagai makhluk sosial dapat hidup, berkembang, belajar, serta menikmati kehidupan secara utuh, salah satunya karena memiliki kemampuan berbicara.

Nah, gangguan perkembangan indera pendengaran pada bayi dan anak jelas akan mempengaruhi kemampuan mereka berbicara. Gangguan itu dapat terjadi dalam berbagai tingkat, mulai gangguan ringan, sedang, berat, sampai sangat berat.

Proses mendengar sendiri merupakan rangkain kejadian yang diawali dengan adanya suara atau bunyi yang ditangkap oleh daun telinga. Bunyi itu lalu diteruskan melalui liang telinga, sehingga dapat menggetarkan gendang telinga. Setelah menggetarkan gendang telinga, energi akustik akan diperbesar oleh rangkaian tulang pendengaran untuk kemudian diteruskan ke telinga dalam.

Di telinga dalam, energi akustik diubah menjadi impuls listrik, sehingga dapat diteruskan ke saraf pendengaran. Oleh saraf pendengaran, impuls itu dikirim ke pusat persepsi pendengaran di otak, dalam bentuk "jadi". Maksudnya, sebagai suara atau bunyi yang sesuai dengan frekuensi, intensitas, dan harmoni nada yang saat itu didengar. Jika ada organ pendengaran yang terganggu, rangkaian yang telah tertata rapi itu tentu akan berantakan.

Ribetnya, kerusakan pada organ pendengaran tidak hanya bisa menimpa orang dewasa, tak pandang pria atau wanita, serta tak mengenal usia. Penyakit ini bisa muncul di berbagai fase kehidupan, mulai dari bayi dalam kandungan, ketika proses kelahiran, saat bayi baru lahir, di masa pertumbuhan, masa kanak-kanak, hingga dewasa, bahkan lanjut usia.

Yang suka telat diantisipasi biasanya gangguan pendengaran pada bayi atau anak. Bayi dan anak yang menderita kerusakan organ pendengaran tidak bisa mendengar suara dan bunyi-bunyian di sekitarnya, lantaran lemahnya informasi akustik atau sama sekali tidak ada informasi akustik yang sampai di pusat persepsi pendengaran. Kalau dibiarkan terus, bisa melemahkan fungsi sel-sel pendengaran di telinga dalam, saraf pendengaran, dan pusat persepsi pen-dengaran.
Bayi pun tidak dapat mendengar dengan baik. Jika masih dibiarkan juga, bayi atau anak tidak akan memiliki kemampuan berbicara atau tuli bisu (deaf-mute).

Tak terganggu petir

Banyak faktor yang memungkinkan bayi dan anak mengalami gangguan pendengaran. Mari kita mulai dari fase paling dini, yakni saat bayi berada dalam kandungan.

Penyebab gangguan pendengaran pada bayi dalam kandungan bisa karena faktor genetik (keturunan) dan non-genetik. Gangguan yang disebabkan faktor genetik masih jarang ditemukan, biasanya dirunut berdasarkan riwayat gangguan pendengaran menurut garis keturunan.
Sebaliknya, gangguan akibat faktor non-genetik sering dijumpai. Misalnya, karena upaya pengguguran kandungan, defisiensi zat gizi pada masa kehamilan, pemakaian obat yang bersifat meracuni fungsi pendengaran, seperti kina, streptomisin, garamisin, neomisin, salisilat, dan lain-lain. Bisa juga karena infeksi atau virus, seperti infeksi toksoplasma, rubella, herpes, sifilis, campak, serta parotitis yang terjadi pada saat kehamilan.
Pada fase pertumbuhan bayi dan anak, penyebab gangguan pendengaran mungkin saja datang dari beberapa infeksi berat yang disebabkan bakteri dan virus, seperti meningitis dan ensefalitis. Selain itu, masih ada beberapa penyakit infeksi saluran napas atas yang sering diderita bayi dan anak, yakni infeksi dinding tenggorok dan amandel, infeksi hidung, dan infeksi sinus di sekitar hidung. Semuanya berpotensi menimbulkan infeksi telinga, yang bisa berujung pada gangguan pendengaran.

Penyebab lain yang dapat menyerang organ pendengaran bayi dan anak adalah kotoran telinga nan padat, benda asing di liang telinga seperti manik-manik, kacang, dan lain-lain. Juga alergi hidung yang tidak ditangani dengan baik.

Lalu, bagaimana cara menangkap gejala gangguan pendengaran, agar penanggulangannya tak terlambat?

Ciri-ciri bayi atau anak yang menderita gangguan pendengaran, saat tidur tidak pernah terbangun, meskipun ada suara atau bunyi keras atau gaduh di sekitarnya. Bahkan bunyi petir sekalipun tidak membuatnya kaget. Gejala ini patut diwaspadai, karena bayi yang baru lahir lazimnya terkejut (mengedipkan mata), menarik kedua tangan dan tungkainya bila ada orang bertepuk tangan pada jarak 30 - 50 cm di samping telinganya.
Pada umur 3 - 5 bulan, orangtua dapat melakukan pemeriksaan sederhana dengan cara sebagai berikut: saat bayi terjaga, ibu menggendongnya, sedangkan bapak atau anggota keluarga lain bertepuk tangan atau membunyikan sendok atau piring pada jarak 2 m di belakang si bayi, sehingga tidak terlihat. Ibu memperhatikan respons bayinya, apakah ia terkejut atau adakah gerakan mata atau upaya menggerakkan kepala mencari sumber bunyi? Bila bayi merespons (terkejut dan menggerakkan kepala mencari sumber bunyi), berarti dia dapat mendengar. Namun, bila tidak, upayakan untuk memeriksakannya ke dokter.
Cara lain, perhatikan perkembangan wicara bayi. Pada umumnya, bayi berusia 4 - 6 bulan su-dah mulai dapat mengoceh bubling, terutama di pagi hari. Ketika memasuki usia 7 - 10 bulan, mulai dapat mengatakan dua suku kata, seperti da-da atau ta-ta. Pada saat bayi berusia 9 - 13 bulan, ia sudah dapat mengucapkan mama atau papa. Nah, bila sampai usia tersebut bayi Anda masih belum menunjukkan kemampuan berbicara yang berarti, tidak ada salahnya membawanya ke dokter.
Penanganan terpadu

Ketika bayi mulai memasuki usia kanak-kanak, orangtua bisa mengenali kemungkinan adanya gangguan pendengaran, dengan memantau perkembangan kemampuan berbicara anak mereka.

Anak yang menderita gangguan pendengaran, biasanya menunjukkan keterlambatan perkembangan berbicara, kesalahan dalam pelafalan, atau pengucapan kata bila dibandingkan dengan rata-rata anak seusianya. Kondisi itu menandakan kemungkinan adanya gangguan pendengaran yang tidak terlalu berat.

Namun, bila anak sama sekali belum dapat berbicara sesuai usianya, kemungkinan ia menderita tuli berat pada kedua telinga atau mengalami kelainan lain yang perlu diperhatikan. Misalnya, afasia motorik, cereberal palsy atau kecacatan otak lain. Karena menyangkut faktor-faktor yang cukup kompleks, penanganan penyakit gangguan pendengaran ini sebaiknya tidak dilakukan sembarangan.

Penanganan bayi dan anak yang pendegarannya terganggu mesti dilakukan dengan memperhatikan jenis, tingkat keparahan, serta usia pasien. Diperlukan kerja sama antara dokter spesialis THT, dokter spesialis anak, psikolog serta ahli terapi wicara untuk menentukan kelainan apa yang sebenarnya diderita. Pemeriksaan itu akan menentukan apakah bayi atau anak hanya mengalami gangguan pendengaran, kelainan otak, atau malah gabungan dari keduanya.
Setelah diketahui hasil pemeriksaan, baru dapat ditentukan program rehabilitasi atau habilitasi yang diperlukan. Bila ada gangguan pendengaran berat, penggunaan alat bantu dengar yang tepat dan sesuai sangat dianjurkan untuk merangsang saraf pendengaran dan pusat persepsi pendengaran. Upaya stimulasi pendengaran bayi dengan melatihnya mengucapkan kata-kata sederhana, seraya membelai rambut dan tubuhnya, perlu dilakukan untuk membantu perkembangan saraf pendengaran dan psikologi anak.
Pada anak dengan gangguan pendengaran berat yang telah mencapai usia sekolah, Sekolah Luar Biasa B merupakan sarana yang pantas dipertimbangkan, agar pengembangan diri anak tak terganggu. Upaya deteksi dini dan penanganan memadai, melalui rehabilitasi dan habilitasi pendengaran, memang masih menjadi jalan terbaik dalam menurunkan tingkat kecacatan pen-dengaran. Upaya ini akan berhasil bila ikut melibatkan peran aktif dari orangtua, terutama ibu.
Peran ibu amat sentral, karena ibulah yang selalu berada dekat bayi dan anaknya, sehingga dia lebih cepat mengetahui kelainan perkembangan sang anak. Pengamatan ibu terhadap perkembangan pendengaran dan kemampuan wicara bayi atau anaknya sering berhasil mendeteksi gangguan pendengaran pada tahap paling dini. Pengamatan yang paling gampang adalah membandingkan perkembangan kemampuan wicara bayi dengan bayi lain yang seusia. Bila hasil pengamatan tadi menunjukkan kecurigaan adanya gangguan pendengaran, segera periksakan bayi atau anak ke rumah sakit.
Untuk mencegah bayi-bayi terganggu pendengarannya, ibu memang harus lebih peka terhadap perilaku anaknya yang tidak biasa.

Jumat, 26 Desember 2008

Tinjauan Remunerasi Jasa Medik/Pelayanan di RS(U)D

Pendahuluan
Dewasa ini masalah krisis global yang melanda seluruh belahan dunia membuat para pengelola bisnis harus menghitung ulang anggaran belanja dan pendapatan perusahaan atau bisnis yang dikelolanya, mengevaluasi kembali kinerja perusahaannya (karyawan) dan melakukan penyesuaian ataupun perubahan target pencapaian kearah yang lebih relevan. Akibat cukup besarnya krisis yang ada saat ini imbasnya dapat dirasakan juga pada sektor bisnis kesehatan dan rumah sakit (terutama RS. swasta). Dalam menghadapi tekanan tersebut diperlukan penataan ulang mekanisme “ mesin cetak ” keuangan, penataan anggaran belanja kebutuhan dalam upaya penghematan dan penataan kembali mekanisme distribusi hasil jasa produksi, termasuk mekanisme bagihasil (gainsharing) jasa pelayanan yang prosesnya dilakukan melalui Proses Remunerasi.
Sebagai dasar dalam menata proses remunerasi layanan kesehatan (Health Care Services), diperlukan sedikit pengetahuan dasar mengenai sistem dan azas dasar dari usaha “bisnis” rumah sakit. Rumah sakit merupakan suatu unit usaha jasa yang berbeda dari layanan usaha jasa lain, karena selain memberikan jasa layanan sosial di bidang medis (pada masa lampau dikenal sangat lekat dengan nuansa sosial kemasyarakatan ketimbang profit oriented), pengelola rumah sakit harus tetap mampu menjaga kelangsungan bisnis rumah sakit (terutama bagi RS. swasta). Dalam pengelolaan rumah sakit dapat saja terjadi konflik kepentingan berbagai pihak, yang dapat bersumber dari situasi eksternal RS (pengaruh owner, situasi politik, ekonomi & keamanan, kebijakan yang tidak kondusif, dll) ataupun pengaruh keadaan Internal RS sendiri, seperti: 1. Klasifikasi organisasi atau “status” RS masih masih belum jelas, 2. Belum ada Dewan Pengawas (Governing Body) dan aturan dasar RS (Hospital bylaws ), yang berfungsi mengawasi pimpinan rumah sakit dan menjadi acuan bagi pimpinan rumah sakit dalam pengelolaan rumah sakit. 3. Deviasi dari Visi, Misi dan Tujuan Rumah Sakit yang dilakukan secara “ berjama’ah ”, baik secara sengaja maupun tidak sengaja, 4. Ketidak-mampuan atau ketidak- kompetenan (Lack of Skill or Improper) pimpinan RS, manajemen RS atau seluruh unsur RS (?) dalam mengelola “core bisnis” RS.
Berdasarkan orientasi terhadap profitabilitas, organisasi rumah sakit pada umumnya terbagi atas: Organisasi bisnis (profit) dan organisasi non bisnis (non profit). Di Indonesia rumah sakit non bisnis pada hakikatnya terdiri dari dua kelompok yaitu: 1. RS. milik pemerintah dan, 2. RS. bukan milik Pemerintah. Sebagai contoh rumah sakit milik pemerintah adalah RS. vertikal Depkes, RS. milik departemen lain, RS. milik TNI / Polri serta RS. milik pemerintah daerah. Sedangkan contoh RS non bisnis bukan milik pemerintah adalah RS. milik universitas / perguruan tinggi, RS. milik lembaga swadaya masyarakat dan RS. milik organisasi keagamaan dll. Sedangkan organisasi rumah sakit yang berorientasi bisnis murni (profit) biasanya dimiliki oleh swasta (domestik maupun asing) misalnya saja RS. milik konglomerasi, RS. milik swasta asing dan RS. milik pribadi.
Berkaitan dengan berbagai tekanan ekonomi dan keterbatasan anggaran yang disediakan oleh pemerintah dan otorotas RS, maka dewasa ini sulit bagi pengelola RS non bisnis untuk tetap konsisten bertahan pada idealisme awal (murni non profit), sebagai solusi untuk mengatasi keadaan diatas beberapa RS non bisnis merasa perlu untuk membuka sayap bisnis dalam bentuk layanan rawat (Paviliun Khusus Swasta ), layanan rawat sehari (Oneday Care), atau layanan kekhususan lain (Unit Hemodialisis, Pusat Stroke dll).
Seperti telah disebutkan diatas pengaruh krisis global yang berkepanjangan, ditambah dengan masalah sosial, politik dan keamanan (nasional & internasional) telah memicu munculnya inflasi diberbagai sektor riil, yang pada akhirnya akan memaksa pemerintah untuk berhati-hati dalam menghitung anggaran belanja negara termasuk belanja dibidang kesehatan. Respons yang berlebihan untuk tetap mempertahankan idealisme dengan alasan dan tujuan tertentu yang tidak logis serta hanya untuk kepentingan diri, kelompok ataupun golongan (terutama dalam menghadapai Pemilu 2009) tanpa memperhatikan pengaruh faktor eksternal, faktor internal dan confounding faktor lainnya, lama kelamaan dapat menyebabkan rumah sakit tidak dapat berfungsi dengan baik. Demikian pula hasrat yang berlebihan dalam menjawab keadaan diatas (dalam bentuk peningkatan pola tarif yang tidak sesuai dengan kondisi ekonomi masyarakat saat ini), akan dapat menyebabkan rumah sakit kehilangan ruh dan fungsi sosialnya yang selama ini diagungkan disamping dapat berpotensi menyengsarakan masyarakat.
Berkaitan dengan kualitas dan fasilitas, beberapa rumah sakit pemerintah maupun swasta yang ada saat ini memiliki kualitas layanan kesehatan yang sangat memprihatinkan dan fasilitas yang menyedihkan. Hal ini antara lain disebabkan adanya keterbatasan sumber daya (sumber daya finansial & non finansial). Tuntutan masyarakat terhadap peningkatan mutu jasa layanan rumah sakit (Hospital / Medical Services) membutuhkan dana investasi yang tidak sedikit. Peningkatan tuntutan terhadap kualitas jasa layanan rumah sakit harus diikuti pula dengan peningkatan profesionalitas pengelolannya dan pengelolaanya serta selalu dibarengi dengan niat tulus dan jujur tanpa ada keinginan untuk mendapatkan keuntungan baik secara pribadi, golongan maupun kelompok.

Remunerasi Jasa medis dan gaji upah
Dalam membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah, perlu dipahami makna dan tujuan dari remunerasi pada umumnya.
Tujuan dari Remunerasi adalah: 1. Memperoleh SDM yang qualified, 2. Mempertahankan karyawan yang baik dan berprestasi serta mencegah turnover karyawan, 3. Mendapatkan keunggulan kompetitif, 4. Memotivasi karyawan untuk memperoleh perilaku yang diinginkan, 5. Menjamin keadilan antara satu karyawan dengan yang lainnya berdasarkan kinerja dan prestasi kerja, 6. Mengendalikan biaya, 7. Sebagai sarana untuk mencapai sasaran strategis RS, dan 8. Memenuhi peraturan Pemerintah.
Pemahaman definisi remunerasi jasa medis pada dasarnya adalah : Besaran nilai jumlah uang yang harus diterima oleh tenaga medis sebagai kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan, berkaitan dengan risiko dan tanggung jawab profesi dari pekerjaannya. Sedangkan gaji upah tenaga medis adalah nilai total yang harus diterima oleh tenaga medis dari nilai kompensasi ditambah dengan besaran keuntungan lain (tangible & intangible). Penjelasan dari definisi diatas, remunerasi terdiri dari: Kompensasi (komisi, keuntungan langsung) dan insentif (bonus, bagihasil) atas kinerja atau aktifitas tugas yang telah dilakukan. Sedangkan upah mencakup pendapatan dari besaran kompensasi dan insentif ditambah dengan besaran keuntungan tak langsung yang didapat dari pengembangan atau aktifitas organisasi / institusi.
Menurut Flippo EB, (1961). Remunerasi sesungguhnya adalah ”Harga untuk jasa-jasa yang telah diberikan seseorang kepada orang lain”. Dengan kata lain remunerasi jasa medis merupakan bentuk kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah diberikan / dilakukan tenaga medis pada pasiennya, dan untuk memudahkan dalam pendistribusian maka remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.
Jasa medis yang dilakukan oleh tenaga medis pada hakikatnya berkaitan dengan layanan medis dokter terhadap pasiennya didalam rumah sakit, layanan tersebut dapat dilakukan dengan dukungan unit-unit penunjang lain baik unit penunjang langsung (rekam medik, radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll) maupun unit penunjang tidak langsung (unit manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran, kebersihan dll). Dari penjelasan diatas mudah dipahami bahwa layanan RS (Hospital Services) merupakan hasil dari satu kerjasama berbagai unit / layanan bersama, dengan berbagai proporsi,kerja, risiko dan tanggung jawab. Beberapa unit penunjang langsung juga merupakan sumber pendapatan RS, oleh karenanya bentuk jasa layanan yang dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan Rumah Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa medis congcruent dengan jasa pelayanan.
Terdapat berbagai cara dalam melakukan perhitungan untuk mendapatkan besaran nilai remunerasi jasa pelayanan, berikut dibawah ini adalah pedoman yang dapat digunakan dalam melakukan proses remunerasi:
1. Amanat Undang-undang No. 43 tahun 1999 tentang Kepegawaian bahwa sistem penggajian Pegawai Negeri adalah berdasarkan merit yang disebutkan dlm psl. 7
• ayat 1 : Setiap Pegawai Negeri berhak memperoleh gaji yang adil dan layak sesuai dengan beban pekerjaan dan tanggung jawabnya
• ayat 2 : Gaji yang diterima oleh Pegawai Negeri harus mampu memacu produktivitas dan menjamin kesejahteraannya.
2. Remunerasi harus dapat memacu pegawai untuk menggunakan dan memanfaatkan waktunya lebih banyak di rumah sakit dalam upaya melaksanakan optimalisasi pekerjaannya.
3. Remunerasi harus memenuhi prinsip equity yang dikaitkan dikaitkan dengan kompetensi, prestasi dan besaran risiko yang dihadapi.
4. Menggunakan pendekatan yang menitik-beratkan pada kombinasi Sistem Penilaian berdasar pada kemampuan pencapaian hasil / penyelesaikan tugas dan Penilaian berdasar pada keterampilan pelaksanaan tugas (Performance Based Pay Sistem and Skill Based Pay System).


Remunerasi Tenaga Paramedis
Tugas pelayanan kesehatan (Health Care) paramedis dalam melakukan asuhan keperawatan akan menyebabkan dirinya berada pada posisi paling depan yang juga berisiko tinggi. Keberhasilan pada tiap asuhan medis akan sangat bergantung pada keberhasilan asuhan keperawatan, sulit sekali atau bahkan hampir tidak pernah ada asuhan medis di rumah sakit yang dilakukan tanpa dukungan asuhan keperawatan. Oleh karena itu secara umum remunerasi tenaga paramedis akan selalu mengikuti (congruence) remunerasi tenaga medis dengan prosentase tertentu yang disepakati melalui pertimbangan besaran risiko, kesulitan kerja dan jenjang pendidikan.

Remunerasi untuk Dewan Pengawas, Direktur dan Staf Manajemen
Keberhasilan dalam mencapai Visi, Misi dan Tujuan Rumah sakit selalu dan selalu saja berkaitan dengan komitmen penuh dari 4 unsur utama rumah sakit dibawah ini yaitu :
1. Dewan Pengawas (Owner / Governing body )
2. Direktur & Staff manajemen
3. Staf medik fungsional & paramedik
4. Karyawan ( tenaga) pendukung lain
Upaya yang patut dilakukan oleh keempat unsur diatas adalah kemampuan membangun rasa saling percaya (trust develop) dengan selalu bersandarkan pada :
1. Kejujuran yang utuh dalam tiap aspek pengelolaan rumah sakit,
2. Upaya untuk saling mengenal dan mengutamakan hubungan interpersonal,
3. Memiliki ataupun membangun Visi, Misi dan Tujuan RS yang jelas, dan selalu berupaya menyamakan persepsi berkaitan dengan Visi, Misi dan Tujuan RS, yang dijabarkan secara berjenjang berdasarkan tugas pokok dan fungsi masing-masing,
4. Selalu mengutamakan pemberdayaan karyawan.

Pada umumnya perseroan di Indonesia menganut sistem dual board (dua dewan), yaitu adanya direksi yang mengelola perusahaan sehari-hari, dan memiliki dewan komisaris yang melakukan pengawasan serta memberikan nasehat kepada direksi. Dewasa ini didalam struktur RSUD istilah Dewan Komisaris lebih dikenal dengan Dewan Pengawas (Governing Body). Pembahasan mengenai sistem penggajian Direksi dan Dewan Pengawas, tentu tidak terlepas dari ruang lingkup pekerjaan, tanggung jawab, kompetensi, dan komitmen waktu dari masing-masing Direktsi dan Dewan Pengawas. Di samping itu perlu juga diperhatikan, kesesuaian dengan hakikat pemisahan kepengurusan perusahaan menjadi dual board, agar mekanisme check and balance dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien melalui berbagai peraturan dasar yang dibuat oleh dewan pengawas, disebut sebagai Hospital bylaws dan berfungsi sebagai acuan bagi Direktur dalam melakukan penatalaksanaan RS .
Dengan asumsi bahwa RS(U)D. Kabupaten / Kota sedang mengupayakan perubahan status yang nantinya akan menjadi BLUD, maka selayaknya proses remunerasi yang akan dilakukan merujuk pada Peraturan Menteri Keuangan Nomor 10/PMK.02/2006, Tentang Pedoman Penetapan Remunerasi bagi Pejabat pengelola, Dewan Pengawas dan Pegawai Badan Layanan Umum , yaitu sbb:
Honorarium Dewan Pengawas ditetapkan sebagai berikut:
1. Honorarium Ketua Dewan Pengawas sebesar 40% (empat puluh persen) dari gaji Pemimpin BLU.
2. Honorarium anggota Dewan Pengawas sebesar 36% (tiga puluh enam persen) dari gaji Pemimpin BLU.
3. Honorarium Sekretaris Dewan Pengawas sebesar 15% (lima belas persen) dari gaji Pemimpin BLU.
Besaran remunerasi Direktur ditetapkan dengan mempertimbangkan faktor-faktor sebagai berikut :
1. Proporsionalitas, yaitu pertimbangan atas ukuran (size) dan jumlah aset yang dikelola RS serta tingkat pelayanan.
2. Kesetaraan, yaitu dengan memperhatikan industri pelayanan sejenis.
3. Kepatutan, yaitu menyesuaikan kemampuan pendapatan RS yang bersangkutan
4. Kinerja operasional RS yang ditetapkan oleh Departemen Kesehatan, berkesuaian dengan type RS yang sekurang-kurangnya mempertimbangkan indikator keuangan, pelayanan, mutu dan manfaat bagi masyarakat.
Sedangkan remunerasi bagi pejabat keuangan dan pejabat teknis ditetapkan sebesar 90% (sembilan puluh persen) dari direktur.

Remunerasi tenaga lain
Disebabkan jasa pelayanan congruent dengan pelayanan aktif kepada masyarakat maka remunerasi tenaga lain dilakukan pertama-tama dengan selalu mempertimbangkan kaitan tenaga tersebut dengan fungsi pelayanan, makin erat fungsi pelayanan (hospital services) yang dilakukan seseorang maka makin besar bobot yang diberikan kepadanya, makin kurang kaitannya (fungsi) seseorang dengan pelayanan maka makin berkurang pembobotannya.
Pembobotan berikutnya adalah dengan perhatian terhadap jabatan, jenis ketenagaan (dalam fungsi yang sama tenaga PNS bobotnya lebih besar dibanding non PNS). Selanjutnya jenjang pendidikan, lama kerja dan prestasi kerja..

Penutup
Pada akhirnya bagaimanapun metode dan cara yang ditempuh itu bukanlah masalah, selama itu dilakukan dengan selalu berlandaskan pada “ 8 Tujuan Proses Remunerasi ”, yang terpenting pada akhir proses akan tercapai hasil yang berkesesuaian dan menjiwai semangat dari tujuan remunerasi itu sendiri.
Salah satu kriteria yang menunjukkan bahwa tujuan remunerasi yang dilakukan telah tercapai adalah, bila hasil rumusan tersebut diaplikasikan dalam perhitungan jasa pelayanan akan menghasilkan personifikasi seperti dibawah ini :

Gambar 1/2/3



Billahittaufik wal hidayah, Wasaalamualaikum Wr.Wb